I am clueless, and God has been very kind.

Saya tidak tahu harus bagaimana, dan Allah Maha Baik.

Dua hal ini yang akan selalu muncul di pikiran saya ketika merencanakan pengasuhan babyAm, anak sulung saya yang berkebutuhan khusus (ABK). Menjadi orang tua dengan ABK bukan hal yang mudah, se-ringan apa pun kondisi kebutuhan khusus yang dihadapi. BabyAm dikatakan oleh dokter memiliki spectrum autism yang paling ringan, yang berarti harapannya besar untuk mengejar keterlambatan perkembangan yang ia hadapi. Tapi biar pun katanya ringan, saya selalu kebingungan dalam mengasuhnya setiap hari, dalam merencanakan apa yang harus saya lakukan berikutnya, dalam menghadapi perilakunya bahkan ketika saya sudah mendapatkan bantuan arahan dari terapisnya. Rasanya saya tidak akan bisa membayangkan menjadi ortu dengan ABK yang lebih kompleks kebutuhan khususnya, saya tidak bisa membayangkan betapa kuatnya ortu dengan ABK yang mungkin belum bisa memasukkan anaknya ke tempat terapi namun tetap menjaga buah hatinya sepenuh hati. Dan setiap saya lihat perjuangan mereka yang jauh jauh lebih berat, saya sadar bahwa memang sungguh Allah Maha Baik. Allah Maha Mengetahui kondisi hamba-Nya, dan saya hanya perlu terus berusaha mengasuh dengan pengasuhan terbaik (versi saya) lalu pasrahkan hasilnya pada Allah.

Menjadi orang tua secara umum (dan orang tua yang saya maksud adalah orang tua yang memilih untuk bertanggung jawab terhadap anaknya, bagaimana pun metodenya) akan mengasah empati kita sebagai manusia. Apalagi jika ia seorang ibu. Pernah gak Bunda mengalami ikutan sakit perut waktu anaknya sedang sakit pencernaan? Atau tiba-tiba lemes juga waktu anak demam padahal aslinya ibunya sehat-sehat aja? Atau gemeteran pas anak meringis jatuh dari kursi? Kalau pernah, ya itulah dia contoh empati. Bagi ortu dengan ABK, mungkin ini dialami setiap hari, bukan hanya ketika anak sakit :’)

I will speak for myself here, meski sudah dapat home-program untuk anak saya dari terapis, meski sering membaca artikel serba-serbi pendidikan khusus, meski saya mau mencari tau tentang penanganan ABK – pada praktik pengasuhan sehari-hari saya tetap lebih banyak bergantung pada insting dan doa pada Allah. Saya masih sering menebak-nebak perilaku babyAm yang memang suka tidak tertebak (-_-‘), dan tentu saja seringkali tebakan saya salah, haha #ketawapasrah. Saya masih suka gak sabaran kalau babyAm tantrum, marah sesaat untuk kemudian merasa bersalah semalaman. Meski sudah hampir 5 tahun kami bersama, saya tetap kebingungan, ya Tuhan :’)

Tapi memang Allah Maha Memelihara, babyAm selalu ada progress –sekecil apa pun itu, meski masih terlambat dibandingkan anak-anak seusianya, tapi sekecil apa pun itu: kemajuan tetap kemajuan. Dan saya gak tau harus bagaimana berterima kasih sama Allah kecuali dengan syukur. Saya bahagia sekali ketika babyAm tiba-tiba bisa minum air dengan sedotan, tiba-tiba berhenti sendiri minum susu dari botol, bisa jongkok lama, bisa nurut ketika disuruh loncat, bisa ngomong jelas mau minta apa (meski hanya kalau terdesak atau lagi marah), dan hal-hal kecil lain yang mungkin akan dianggap biasa bagi sebagian besar orang tua. Sekecil apapun, a progress is a progress. Dan bagaimana mungkin saya gak bersyukur pada Allah, saat saya sendiri gak berperan banyak dalam menciptakan kemajuan-kemajuan kecil ini? Seperti yang pernah saya bilang: syukur membuat sabar, dan sabar membuat kuat. Orang-orang di sekitar saya sering salah faham, dan mengira saya tekun dan telaten mengasuh babyAm. Ya Alhamdulillah kalau orang fikir begitu, tapi ketahuilah anakku, babyAm ku sayang.. suatu saat nanti ketika kamu dewasa (dan mungkin kamu membaca artikel ini), ketahuilah bahwa bukan ummi yang hebat, tapi Allah yang menjaga kamu. Ketahuilah anakku, bahwa suatu saat nanti jika kamu bisa bertahan hidup dengan mandiri, bisa bersosialisasi dengan baik, bukan karena ummi yang telaten, tapi karena kamu memang anak hebat, karunia dari Allah untuk ummi :’)

I love you, sulungku ❤

Semoga Allah selalu bantu ummi untuk menjaga kamu, karena sungguh..ummi gak bisa apa-apa :’)


2 responses to “Bukan Ummi yang Hebat”

  1. Anissa Avatar
    Anissa

    halo mbak,, saya mengerti sekali perasaan mbak. anakku juga merupakan ABK, sampai dengan usia 3 tahun ini dia belum bisa komunikasi verbal, dan masih sensitive sekali dengan suara keras serta tactile nya masih bermasalah.

    kami sadar kami butuh bantuan di usia anak 2 tahun, kami ke prof.hardiono dimana anak kami didagnosis tidak autis namun punya kesulitan bersosialisasi. setelah itu kami langsung ikutkan anak kami terapi SI, saat ini sudah 1 tahun dia terapi SI. Dibilang ada perkembangan gak sih ya harus diakui ada. namun setelah 1 tahun terapi sebenarnya kami mengharapkan perkembangan lebih, apalagi tahun depan mau kami masukkan sekolah.

    yang mau saya tanyakan, anak mbak terapi SI berapa lama baru kemudian terapi ABA dan wicara? kapan anak mbak mulai bisa komunikasi secara verbal? kapan anak mbak masuk sekolah? sekolah khusus kah?

    berapa biaya terapi di CMC?

    thank you mbak….

    Like

    1. Elwiena Maulida Avatar

      Halo mbak anisa, salam kenal yaa ^^
      Semangat yah mba, dan smoga bisa slalu sabar mendmpingi terapi anak tercinta, aamiin..

      Anak saya terapi SI selama satu tahun, baru ditambah dengan ABA, setelah 8 bln ABA baru tambah bicara..itu juga saya slalu ikutin saran dari terapis aja mbak..gak pernah maksain harus cepat” nambah terapi, dan memang saya pertimbangkan hasil” evaluasi terapi nya, apakah anak saya memang sudah siap u/tambah terapi atau gak.

      Anak saya skrg hampir 5 tahun, alhamdulillah belum sekolah..masih lanjut terapi aja. Komunikasi secara verbal yg mbak maksud seperti apa? Kalau maksudnya bisa ngobrol 2 arah: belum bisa, alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Tapi sudah banyak instruksi yg dia faham & sudah bisa ngajak main biarpun dengan bahasa tubuh, bukan dengan kata-kata. Sudah ada kata-kata yg dia gunakan sesuai konteks, namun anak saya mau bicara hanya dalam keadaan terdesak.

      Sampai saat ini memang belum saya rencanakam untuk masuk sekolah, krn memang dia juga blm siap. Masih banyak PR kemandirian yg harus saya latih sbelum masuk sekolah. Sampai saat ini worst case scenario yg ada dalam bayangan saya tentu saja masuk di sekolah inklusi yg menerima ABK, gak muluk” harus di sekolah umum. Tapi again, semua tergantung bagaimana nanti kesiapan anaknya aja. Sampai skrg saya lihat dia masih harus terapi, jadi memang saya gak coba paksa masukkan ke pre-school atau semacamnya.

      Yg perlu diingat tiap anak beda” mba, ada yg dicoba masukin sekolah lalu ternyata anaknya enjoy & jadi banyak perkembangan. Ada juga anak yg sekali dipaksa masuk sekolah saat dia masih blm baik komunikasinya, ternyata malah trauma. Di sini peran ortu u/bisa jeli liat kira-kira anaknya bisa trial skolah dulu/gak.

      Biaya terapi CMC dulu thn 2015-2016 200rb/jam mba.. kalau sekarang kurang tau, mungkin bisa di-update langsung telp ke CMC nya mbak 🙂

      Semoga menjawab pertanyaannya ya Mbak Annisa 🙂

      Like

Leave a comment