10 Oktober diperingati sebagai hari kesehatan mental sedunia. Sejak kapan? Entahlah, just google it 😉 hehe
Tapi seperti juga dengan hari-hari nasional/internasional terkait autisme atau kebutuhan khusus, hari kesehatan mental punya nilai sentimental sendiri bagi saya karena pernah mengalami sendiri (dan mungkin masih akan terus diupayakan selalu sehat mental di masa depan). Hal yang berkaitan dengan gangguan mental bukanlah hal yang mudah untuk dibicarakan, ya setidaknya tidak mudah di lingkungan sosial saya. Mengapa? Karena ya masalah kesehatan mental masih dianggap tabu untuk dianggap serius, masih dianggap sesuatu yang “hanya ada dalam pikiran” atau “cuma sugesti aja itu”, dan ini memicu saya menjadi malu untuk mengakui masalah kesehatan mental yang saya alami. Ketika orang mendengar istilah psikososial, kesan yang mereka peroleh (misalnya setelah mereka googling) adalah gangguan jiwa yang identik dengan kata “gila” dan siapa yang mau punya saudara atau teman yang gila? Padahal definisi gangguan jiwa itu sendiri luas sekali.
Saya tidak akan bicara dari segi keilmuan ya, karena saya bukan ahlinya. Kalau mau dapat insight tentang gangguan mental bisa cek di sini. Saya akan bicara dari sudut pandang “penyandang” meski pada kasus saya dulu, saya tidak pernah mendapat pertolongan professional secara medis (dengan psikolog/pskiater mau pun dengan obat) karena alasan tadi itu: saya malu mengakui saya punya gangguan mental. Depresi dan gangguan kecemasan (anxiety) yang saya alami merupakan manifestasi dari banyak pengalaman hidup, namun puncaknya adalah ketika saya mendapat diagnosa bahwa anak sulung saya berkebutuhan khusus. Depresi, jika tidak cepat disadari dan diakui dapat mengarahkan kita pada pikiran-pikiran buruk bahkan tindakan nyata untuk: menyakiti diri sendiri ATAU menyakiti orang lain. Pada kasus saya, ketakutan saya untuk menyakiti orang lain inilah yang menuntun saya menyerah pada Allah..karena saya gak tau mau ke mana, gak tau mesti minta tolong sama siapa. Saya mulai belajar salat (dengan khusyuk & mencari tau tata cara salat yang benar), and this was my most desperate move. Saya mulai taubat, mencari kajian-kajian Islami tentang makna hidup & iman kepada takdir, bukan karena saya sadar saya banyak dosa, tapi karena saya butuh pengalihan dari pikiran-pikiran buruk yang selalu berkecamuk. Dan memang benar hadits:
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya” [HR Bukhari & Muslim]
Niat saya “ngaji” saat itu hanya sekedar untuk mengalihkan energi & pikiran saya dari depresi saya, dan memang persis distraksi itulah yang saya dapatkan. Namun pengalihan itu menyelamatkan saya, lebih tepatnya Allah telah menyelamatkan saya. Lalu di kemudian hari setelah saya “sembuh” dan berdamai dengan kenyataan anak saya berkebutuhan khusus, barulah saya sadar: memang saya banyak dosa & saya butuh taubat untuk mendapat maaf dari Allah. Meski saya sangat kepayahan dengan depresi yang saya alami, namun saya bersyukur Allah berikan pengalaman itu pada saya karena ternyata depresi yang saya alami adalah jalan hidayah-Nya.
Namun tidak semua orang bisa mendapat pengalihan yang sama, maksudnya melalui pengalaman spiritual seperti yang saya rasakan. Jika depresi berkelanjutan tanpa support system yang positif maka tidak jarang distraksi yang dipilih justru yang menjerumuskan pada ketergantungan seperti rokok, obat penenang (tanpa resep dokter), miras, bahkan narkoba. Dan ini bukan isapan jempol belaka, kalau punya teman psikolog mungkin bisa tanya-tanya tentang hal itu. Oleh karenanya jika Anda sadar bahwa ada yang tidak beres dengan kondisi mental Anda, solusi terbaik adalah berkonsultasi dengan ahlinya sebelum terlambat. Jangan merasa malu untuk mencari pertolongan. Kepedulian dari orang terdekat juga merupakan salah satu faktor penting untuk membantu pemulihan jiwa seseorang. Jadi jika merasa perlu bercerita pada keluarga terdekat, cobalah diceritakan: jangan malu. Jika rasanya tidak ada yang dapat mengerti masalah Anda, maka berusahalah mencari pertolongan dari pihak luar baik itu dokter, psikolog, atau komunitas-komunitas yang peduli dengan masalah kesehatan mental. Apapun itu, cobalah cari pengalihan untuk masalah yang Anda alami.
Nah, bagi orang tua atau pendamping anak-anak berkebutuhan khusus, kesehatan mental ini juga menjadi sangat penting karena ada tanggung jawab untuk memberikan terapi bagi ABK-nya. Bagaimana mau berhasil terapi anak-anak kalau ortu-nya masih kepayahan dengan depresi yang melanda? Bagaimana mau membantu anak-anak kalau ortu-nya juga perlu ditolong? Spirit yang harus kita junjung adalah: selamatkan diri sendiri dulu sebelum menyelamatkan orang lain (siapa pun itu). Maka jika mungkin ada ortu dengan ABK yang membaca post ini, dan masih bejibaku menerima kenyataan mengenai kebutuhan khusus anaknya, atau merasa frustrasi dengan keadaan sehingga stress & depresi berkepanjangan maka segera cari pertolongan. Kalau mungkin Anda merasa sama seperti saya, mau minta tolong ke mana? Ingatlah…selalu ada Tuhan yang Maha Penyayang mengawasi Anda setiap waktu. Carilah pertolongan-Nya, sesuai dengan cara yang Anda ketahui dalam agama dan kepercayaan Anda. Sebagai penyintas masalah mental, saya tentu berharap Anda menemukan hikmah di balik depresi yang Anda hadapi..dan yakinlah wahai kawan, tidak ada hikmah yang lebih indah selain hidayah-Nya.
Akhir kata, seorang teman pernah berkata dan ini adalah pesan yang bhaique serta penting diingat:
Semangad Kakanya, kamu QUAD! [“,]9
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membaca. Have a great #worldmentalhealthday!