“TERSERAH” (oleh Elwiena M)

Aida menatap jendela. Di luar sedang hujan. Aida suka hujan. Sejak dulu hujan adalah teman baiknya untuk menyembunyikan isak tangisan. Dan bau tanah setelah hujan, hmm sangat menenangkan pikirannya. Aida menatap anak-anaknya yang tertidur pulas. “Beruntung sekali kalian”, kata Aida dalam hati. “Kalian tidak perlu memilih sayang antara Mama dan Papa”

Aida kecil duduk di kursi restoran, di antara mama dan papanya. Usianya mungkin baru tujuh tahun. Aida senang sekali diajak makan di restoran. Namun, dia sudah tidak ingat nama restorannya, minuman apa yang dipesankan Mama, atau makanan apa yang membuatnya kenyang hari itu. Tapi rasa gugup di hatinya saat berada di antara Mama dan Papa tetap membekas amat jelas. Aida cemas sekali. Dia tidak berani melihat mata Mama. Aida tertunduk. Dan setelah hari itu dia selalu tertunduk hina jika berurusan dengan Mama.

“Kamu mau ikut Mama atau Papa?”, tanya Mama. “Mmm, mmm..” Aida masih menunduk. Aida tidak tahu harus menjawab apa. Aida sayang Mama, tapi dia juga tidak benci Papa. Kenapa Aida harus pilih salah satunya? Mama terlihat makin tidak sabar menunggu jawaban. Aida semakin cemas. Dan kecemasannya membuat dia menjawab dengan kata terbodoh, “Terserah..”

Tentu saja Aida ikut Mama setelahnya. Proses perceraian orangtua Aida penuh drama, Aida dan adiknya pasrah saja. Namun, ‘terserah‘ menjadi kata-kata beracun sepanjang masa kanak-kanaknya. Setiap Mama marah, Mama akan ungkit, “Memang kamu gak sayang Mama! Dulu aja ditanya mau ikut siapa, kamu jawab ‘terserah’, kalo sayang ya jawab dong ‘Mama’, tuh kayak adik kamu!”

Sekarang setelah menjadi seorang ibu, Aida paham kenapa adiknya yang masih balita waktu itu tanpa ragu memilih Mama. Dia melihat anak-anaknya sendiri yang memang selalu mencari ibunya, namanya juga balita. Sedangkan Aida sudah lebih besar ketika perceraian terjadi, dia sudah SD dan ada takut di hatinya melihat dua orang yang sangat disayanginya bertengkar apalagi berpisah. Dia tidak mengerti saat itu bahwa dunia orang dewasa rumit sekali. Aida selalu ingin hilang ditelan bumi saja kalau dituduh tidak sayang Mama. “Kenapa sih kamu harus jawab ‘terserah‘?” sesalnya abadi.

Lagi, setelah menjadi orangtua dia bisa berempati dengan kondisi Mama yang tidak bisa mempertahankan lagi rumah tangga bersama Papa. Dia paham mungkin ikatan yang retak hanya akan membuat luka makin menganga. Dia bisa membayangkan betapa besar tekanan dunia pada seorang ibu tunggal. Namun, Aida dewasa tidak rindu pelukan ibunya. Hingga batinnya selalu gusar, “Mungkin memang benar aku tidak sayang Mama kayak kata Mama??” Tapi dia juga tidak benci Mama. Dengan segala perjuangan dan perjalanan hidup Mama, bagaimana mungkin dia benci Mama?

Anak-anak akan banyak lupa detil memori masa kecilnya kecuali dua hal; yang paling menyenangkan atau yang paling menyakitkan/mengerikan 🙂
Aida dewasa tahu betul dia tidak akan bisa selalu memberikan momen menyenangkan untuk anak-anaknya, tapi dia bertekad memperbanyak momen menyenangkan dengan segenap kemampuannya. Good luck, Aida!

@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc2301

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: