(sebuah roman picisan. bukan genrenya? skip aja)

Menurut rekan-rekannya, dia cukup tampan untuk ukuran usia 39. Arka sudah biasa dengan rumor dia penyuka sesama saking tidak pernah terlihat mengencani wanita. Dia tidak keberatan. Hidupnya lebih mudah tanpa drama percintaan.

Tentu saja Arka suka perempuan. Pun pernah patah hati. Perempuan jika sedang jatuh cinta, akan mengejarnya setengah mati. Dan hilang tanpa kabar jika mereka sudah bosan.

Kawan-kawan terdekat selalu salah paham. Mereka bilang, “Gimana caranya cewek bosen sama lo sih, Bro?” Arka hanya tersenyum karena dia tahu banyak sekali cara wanita berubah pikiran. Mulai dari tabiatnya yang clingy jika sudah telanjur sayang. Sampai obsesinya bermain arkade.

“Kamu terlalu tua untuk itu!”, ujar mantan terakhirnya 3 tahun yang lalu. Hubungan mereka tentu tak berlangsung lama setelah itu. Memang rasanya lebih mudah sendiri, ditemani ingar ragam mesin arkade yang tidak pernah protes dan ingkar.

Mungkin tidak akan terlalu aneh jika pria seusianya menghabiskan waktu di arkade sambil menggendong anak yang tantrum karena mesin arkade tidak mengeluarkan tiket. Pasti menyenangkan punya anak yang menyemangatinya balap motor virtual. Bersama istri yang mengejar anak balita mereka yang sedang rebutan mobil-mobilan sama anak orang. Namun, Arka memang tidak bisa membayangkan itu semua jika bukan dengan Gema.

Sepuluh tahun yang lalu mereka berjumpa di arkade. “Misi Kak, boleh pinjam kartunya, kartuku habis. Sayang banget tapi ini tinggal “boss round”, ujar Gema sambil mengulurkan uang goceng di tangan. Arka membantu tap kartu sebentar sambil lalu. “Gak usah” tolaknya pada goceng yang ditawarkan dan berlalu pergi melanjutkan berburu zombie.

Sepekan berlalu, Arka tidak ingat lagi Gema, tapi Gema belum lupa. Dia sengaja mampir ke mall sepulang sekolah. Gema selalu merasa aturan di mall sangat konyol. Kau ditolak masuk jika jelas-jelas berseragam SMA, dan sekonyong-konyong boleh masuk bermodalkan jaket atau sweater semata. “Jelas-jelas roknya tetap abu-abu” pikirnya.

Gema sebenarnya tidak yakin apakah hari itu akan bertemu cowok ganteng tipenya di arkade yang sama. Tapi, namanya juga usaha. Siapa yang sangka, lelaki tampan itu sedang berada di depan permainan zombie seperti pekan lalu. “Jodoh”, batin Gema.

Seperti remaja pada umumnya, Gema impulsif. Sudahlah impulsif, dia punya konfidensi di atas rata-rata gadis seusianya. Jika suka teman sebaya, dia tidak ragu mendekat duluan. Wajahnya tidak terlalu cantik, tapi banyak yang setuju bahwa senyumnya manis. Namun, dia belum pernah betulan berkencan. Biasanya baru PDKT saja dia sudah bosan. Sampai dia bertemu Arka dan terbayang-bayang.

Gema yang yakin Arka adalah ‘jodoh’nya pun meluncurkan ‘misi’-nya. “Misi Kak”, sapanya setelah melihat Arka game over. Arka menoleh dengan ekspresi datar. “Aku yang kemarin pinjem kartu, gak nyangka ketemu lagi. Ini buat Kakak, makasih banyak aku menang kemarin” lanjut Gema sambil menyerahkan tumbler hadiah hasil penukaran tiket. Arka masih memproses apa yang terjadi, “Aku Gema, Kakak udah punya pacar?” [see impulsive]. Barulah Arka melihat wajah Gema penuh perhatian. Anak kecil, cukup manis, tapi agresif. Sama sekali bukan tipenya.

“Kalau pun belum, saya tidak akan pacaran dengan anak SMA” ujar Arka sembari menolak tumbler Gema. “Aku tinggal nunggu lulus, kok. Sama mahasiswi boleh kan? Kakak belum nikah kan? Aku gak jadi minta nomer hp-nya sih kalau udah nikah. Sori, bukan pelakor”. Arka tidak bisa menahan senyumnya. “Belum. Tapi memang cari istri, kalau siap nikah silakan WA” Arka akhirnya menyerahkan kartu namanya.

Hubungan mereka adalah kali pertama bagi keduanya. Gema akhirnya pertama kali punya pacar. Arka pertama kali mengencani perempuan yang jauh lebih muda, dan perlu diingat, yang bukan tipenya. Sebelum Gema, Arka lebih menyukai tipe yang pemalu. Selalu Gema yang mendekat duluan, dan selalu Gema yang ingin tahu segala hal tentang Arka. Satu hal tentang Gema, dia selalu membuatmu nyaman bercerita. Siapa yang menyangka akhirnya Arka yang lebih dulu jatuh cinta.

10 bulan, Arka memberanikan diri melamar. Dan kini 10 tahun telah berakhir kisah cinta. Orangtua Gema tidak yakin maupun terkesan pada pria 29 tahun mau menikahi anak mereka yang baru lulus SMA. Ayah Gema terang-terangan menolak. Arka selalu tidak percaya, sekarang dia yang mendamba. Padahal Gema yang lebih dulu mendekatinya. Dan bagi Gema? Memang dia terlalu muda, siapa juga yang memikirkan pernikahan di usia 17? Arka sekadar cinta monyet saja. Gema pun manut pada ayahnya.

Arka tidak mengerti mengapa sulit melupa. Satu dekade waktu yang cukup lama. Mungkin karena pertama jumpa Gema masih berseragam SMA? Mungkin karena pertama kalinya Arka didekati perempuan yang tidak malu bilang suka?

Banyak wanita berlalu setelah Gema, tapi tetap dia yang paling berkesan. Arka paling sering bermain arkade di mall yang sama ketika pertama jumpa Gema. Naif sekali, namun dia berharap berjumpa lagi. Telah bertahun berlalu, dan jelas-jelas Gema memang menghapus Arka dari memori. Tidak ada kontak, tidak ada jejak. Namun, mengapa Arka kesulitan melepas kenangan yang begitu singkat?

Apakah itu dia? Seorang ibu muda sedang memotret putrinya. Ketika ponsel kamera diturunkan, Arka jelas melihat senyum yang dirindunya. Gema seperti tersenyum padanya, sebelum merangkul pria di sampingnya. Mereka terlihat begitu gembira, suaminya menggendong putri yang mirip sekali dengan Gema. “Harusnya itu aku, Gem”, pasrah Arka. Kini hatinya benar patah. Begini rupanya rasa terjebak nostalgia 💔

@30haribercerita
#30haribercerita #30hbc2306

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: