Waktu kecil tinggal di Lombok, kalau dibilang “dekat kok” artinya 5-10 menit perjalanan dengan mobil atau motor. Di kota besar nan macet seperti Jakarta, 40 menit juga masih dekat. Jauh itu kalau harus masuk tol atau lebih dari satu jam perjalanan.
Tapi bagi sebagian orang 40 menit berjalan kaki masih dianggap dekat. Sebagian lain harus jalan kaki 15 menit, rasanya jauh sekali. Jadi, seperti waktu, jarak juga relatif. Karena kata pujangga, yang jauh di mata bisa dekat di hati. Gak logis, tapi namanya juga pujangga.
Katanya sih, kalau sering menghabiskan waktu bersama ya otomatis jadi dekat. Hmm, apa iya? Sepertinya harus dikulik dulu, waktu bersama dihabiskan dengan siapa & untuk apa 類
Ada seorang teman, ibunya pekerja kantoran yang kini menjelang pensiun sudah bosnya para bos. Sang teman ikut jejak ibunya, jadi ibu pekerja yang juga bos-bos. Namun, relasi ibu-anak-cucu semua harmonis. Bagaimana tidak? Setiap ada waktu bersama, yang disisakan kenangan manis. Mereka percaya pada kualiti bukan kuantiti. Hubungan tiga generasi lekat sekali.
Di sisi kota yang lain, seorang ibu rumah tangga sibuk dengan urusannya. Tidak mengasuh, hanya sekedar menjaga agar anaknya tidak mati saja. Sudah makan? Sudah mandi? Sudah semuanya, lalu ditinggal main sendiri. Anak masuk usia sekolah, ibu makin merdeka. Anak dianggap beban saja. Anak kecil yang sudah dewasa, tidak mau jadi ibunya. Setiap hari bersama, tapi jauh terasa.
Kalian punya pengalaman yang sama?
Seperti waktu, jarak juga relatif. Yang membuat terasa lama, dan terasa jauh adalah siapa. Siapa yang dituju, siapa yang diadu. Dan kita tidak perlu dekat dengan semua orang, seperti halnya kita sengaja menjauh dari sebagian orang. Namun, kalau memang memaksa mau dekat juga, maka jangan sungkan bicara. Komunikasi adalah kunci agar dari mata, turun ke hati.
Dari kata, dekat di jiwa.
@30haribercerita
#30haribercerita #30hbc2314 #30hbc23Jarak #KarsaBercerita