Bismillaah,
Semakin tambah usia, semakin banyak yang dikecilkan untuk ketenangan pikiran. Ekspektasi, harapan, ambisi, adalah salah tiganya. Ketika berkeluarga dan jadi istri, belajar mengecilkan ego. Ketika punya Bang Am (anak sulungku), belajar mengecilkan waktu tidur demi mendapatkan ritme menyusui yang rutin.
Ketika tahu Bang Am autistik, begitu besar pelajaran yang dia berikan untuk mengecilkan makna kebahagiaan. Untuk merayakan kemenangan-kemenangan kecil dari tiap langkah jejak perkembangannya. Untuk mengecilkan standar makna kemajuan supaya bisa bersyukur, dengan tagar dalam memori saya yang selalu tersimpan di pojok pikiran; #simplethingmademecry (´ . .̫ . `)
Dan itu bukan hal yang buruk, kok!
Apakah saya jadi tidak bermimpi besar? Cepat puas dengan perkembangan dia sekarang? Tidak perlu dimaknai begitu. Doa-doa yang seorang ibu panjatkan untuk anaknya, selalu doa-doa yang besar. Tuhan ciptakan naluri alamiah seorang ibu demikian adanya (tentu ada pengecualian, dan penyimpangan naluri pada oknum sebagian ibu, tapi kali ini kita tidak akan membahas oknum). Jika ada manusia yang paling tulus mendokan kita di dunia, maka itu adalah sosok ibu.
Besar pelajaran untuk menyeimbangkan bahagia dan kecewa di antara harapan dan realita dari anak spesial saya. Selama hampir satu dekade menemaninya, ah sebentar hapus air mata dulu :’)
Tidak bisa tidak menangis, jika bercerita tentang dia.
Besar pelajaran untuk tidak sombong. Untuk memahami bahwa Ibu bisa berusaha, hasilnya Allah yang tentukan. Untuk mengecilkan keinginan jadi Ibu sempurna, karena sesempurna apapun berusaha jika tanpa rasa syukur, maka keinginan Ibu akan selalu menjulang di atas standar yang anaknya mampui. Jadi, Ibu mengecilkan itu semua. Dan bagi dia yang suka bermimpi besar dengan banyak kemauan, ‘mengecilkan’ bukanlah pekerjaan mudah.
Jadi saya bersyukur (dan hampir selalu menangis #memangcengeng) ketika,
Bang Am bisa minum susu dari sedotan.
Bang Am bisa duduk diam selama diguntingkan kukunya atau dicukur rambutnya.
Bang Am tidak berantem lagi ketika diminta pakai baju atau celana baru.
Bang Am tidak berontak dipakaikan peci.
Bang Am bisa menulis dengan pensil.
Bang Am tahu siapa saya.
Bang Am kenal mana gurunya.
Hei tunggu… ternyata sudah banyak bisanya :’)
Sekecil apapun saya bersyukur. Klise tapi betul, a progress is a progress no matter how small. Hal-hal sederhana yang pada adik-adiknya cukup sekali dua atau bahkan tidak perlu diajarkan caranya. Dan Allah bantu Bang Am mencapai itu semua meski dengan durasi berbeda dan usaha lebih besar.
Mengecilkan standar kebahagiaan bukan berarti mengerdilkan usaha. Namun, jika kita tidak bersyukur dengan yang kecil, maka tidak akan bisa bersyukur dengan yang besar. Saya sudah buktikan ini berkali-kali baik di diri sendiri, maupun dari sikap orang lain.
Jadi, mengecilkan untuk membesarkan syukur tidak akan pernah menjadi langkah yang salah 🙂
@30haribercerita
#30haribercerita #30hbc2316